Selasa, 17 Maret 2015

Kode Etik Profesi Wartawan

Wartawan adalah profesi yang cukup "disegani" terutama oleh kalangan politis dan selebritis hehe. Tanpa wartawan, mereka tak akan pernah jadi terkenal. Walaupun kadang profesi ini jadi terkesan "dihindari" oleh mereka, karena kadang juga ada wartawan yang sedikit "lebay" dalam mencari atau mendapatkan berita sehingga menyentuh batas privacy mereka dengan mengandalkan "kebebasan pers". Apa saja sebenarnya fungsi dan tugas wartawan akan di jelaskan sebagai berikut :

Apa sebenarnya makna wartawan sebagai sebuah profesi? Jurnalisme adalah salah satu profesi yang memberikan layanan kepada publik. Secara singkat tugas dan kewajiban wartawan adalah menyampaikan serta meneruskan informasi atau kebenaran kepada publik tentang apa saja yang perlu diketahui publik.

Apa yang melindungi hak-hak wartawan? Dalam melaksanakan tugas serta kewajibannya melayani publik, wartawan memperoleh sejumlah keistimewaan. Antara lain:

Mereka dilindungi oleh undang-undang kebebasan menyatakan pendapat.
Mereka berhak menggunakan bahan/dokumen/pernyataan publik.
Mereka dibenarkan memasuki kehidupan pribadi seseorang dan para tokoh publik (public figure) demi memperoleh informasi yang lengkap dan akurat (karena mereka mewakili mata, telinga serta indera pembacanya).

Media-massa sering disebut sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Koran adalah sumber kekuasaan yang bisa menjadi pengimbang dari kekuasaan-kekuasaan lain. Tapi, kekuasaan cenderung disalahgunakan. (''Power tend to be corrupted''). Wartawan semestinya sadar akan kekuasaan dalam profesinya, namun mereka bukanlah dewa atau malaikat. Mereka bisa membuat kesalahan (disengaja atau tidak). Pers bahkan bisa menjadi lembaga yang sangat kejam. Wartawan bisa menjadi tiran. Beberapa hal di bawah ini dimaksudkan sebagai pembatas tindak-tanduk wartawan dan praktek jurnalistik demi melindungi masyarakat dari tindakan atau praktek wartawan yang tak terpuji:

Kode Etik
pasal Pencemaran (Libel): hukum-hukum yang menyangkut pence-maran nama baik
Hukum tentang hak pribadi (Privacy)
Panduan tentang selera umum
Apa itu Kode Etik Jurnalistik? Kode Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain, namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya:


Tanggung-jawab. Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
Kebebasan. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat (milik publik) dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Independensi. Wartawan harus mencegah terjadinya benturan-kepentingan (conflict of interest) dalam dirinya. Dia tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai penyampai informasi atau kebenaran.
Kebenaran. Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias.
Tak memihak. Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai opini.
Adil dan Ksatria (Fair). Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam berita yang ditulisnya serta mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.

Kode Etik Jurnalistik seringkali hanya bersifat umum. Itu sebabnya seringkali masih menyisakan sejumlah pertanyaan, misalnya: apakah etis memata-matai kehidupan publik seorang tokoh, atau bolehkah menjadi anggota partai politik tertentu? Di sini, biasanya seorang wartawan memiliki Kode Etik Pribadi (Personal Code).



Apa itu Kode Etik Jurnalistik Pribadi? Kebanyakan kita bisa dengan membedakan yang benar dari yang salah. Kepekaan moral kita dipengaruhi oleh orangtua, sekolah dan keyakinan agama. Banyak panduan kode kita datang dari bacaan atau teman-teman di sekeliling kita. Kendati loyalitas pada teman merupakan sikap yang dihargai, wartawan harus menjawab tuntutan lebih besar dalam loyalitasnya, dan itu adalah loyalitas pada masyarakat. Wartawan bisa menggunakan tanggungjawab sosialnya sebagai basis untuk membentuk Kode Etik Pribadi.



Tanggung-Jawab. Kewartawananan, sekali lagi, adalah sebuah jasa publik. Para wartawan semestinya bebas dari ikatan komitmen atau kewajiban terhadap kelompok tertentu. Wartawan harus meletakkan ''tanggung-jawab kepada publik'' di atas kepentingan diri sendiri serta di atas loyalitasnya kepada kepada perusahaan tempat dia bekerja, kepada suatu partai politik, atau kepada kelompok dan teman-teman terdekatnya.



Independensi. Meneruskan informasi adalah tugas wartawan. Jika sumber berita atau teman meminta dia untuk merahasiakan informasi, si wartawan harus menimbang permintaan itu dalam konteks komitmennya untuk memberikan informasi kepada publik. Jika atasan atau perusahaan tempatnya bekerja membunuh seluruh atau sebagian dari berita yang ditulisnya dengan alasan bisa merusak dari sisi bisnis, memburukkan pemasang iklan atau teman dari pemilik koran, si wartawan harus mengkonfrontasikan situasi tadi dari perspektif moral yang sama -- kewajiban untuk melaporkan kebenaran.



Dalam dua kasus itu, tindakan yang harus diambil oleh wartawan adalah jelas: puas melihat bahwa informasi/kebenaran mencapai pembacanya. Pemerintah seringkali ingin merahasiakan sesuatu karena alasan ''kepentingan nasional''. Dalam hal itu seorang wartawan berhadapan dengan sebuah dilema. Dalam sebuah masyarakat demokratis, publik berhak tahu apa yang dilakukan pemerintah. Pada saat yang sama, mengungkapkan sesuatu informasi bisa membahayakan keamanan, termasuk keamanan publik. Ini juga pada akhirnya terpulang pada Kode Etik Pribadi yang intinya wartawan harus melayani publik dengan memberi imbangan kepada kekuasaan, termasuk kekuasaan pemerintah.



Rindu pada Kebenaran. Setiap wartawan paham bahwa mereka harus bisa dipercaya. Tapi apakah kebenaran itu? Pertama-tama: apa yang dilaporkan harus merupakan hasil reportase yang akurat, misalnya bahwa apa yang dikatakan seorang sumber dalam interview adalah memang benar-benar seperti dikatakannya. Namun, wartawan yang rindu pada kebenaran tak puas hanya dengan itu. Dia menuntut diri untuk bisa menggali kebenaran, menyingkap lapisan-lapisan kejadian yang bisa menghalangi penglihatan publik pada kebenaran. Untuk itu wartawan harus memiliki sikap tega terhadap orang atau tindakan yang merugikan masyarakat. Wartawan prihatin dengan para korban tindakan tak fair, ilegal serta diskriminatif. Mereka melihat tindakan seperti itu sebagai pencemar dalam masyarakat. Untuk menyingkap kebenaran wartawan seringkali melakukan investigative reporting. Kadang dengan cara menyamar. Menyamar bukanlah tindakan yang etis, namun dibenarkan untuk situasi tertentu.



Dalam situasi kritis, wartawan boleh menggunakan taktik atau teknik yang dalam situasi lain tidak etis. Namun, taktik seperti itu harus diberitahukan kepada pembaca. Kebenaran hakiki barangkali tak pernah bisa ditemukan di dunia ini, namun seorang wartawan harus berusaha keras untuk mencapainya. Untuk itu ada sejumlah hal yang bisa menjadi Kode Etik Pribadi pula:

Kesediaan untuk mengakui kesalahan.
Berusaha keras mengikuti fakta, meski fakta itu bergerak ke arah yang tidak disukai atau tidak disetujuinya.
Komitmen untuk senantiasa memperbaiki diri (belajar dan berusaha keras) sebagai wartawan sehingga bisa lebih baik melayani mereka yang berharap bahwa si wartawan adalah mata dan telinga mereka.
Melawan godaan akan pujian, uang, popularitas dan kekuasaan jika itu semua berdiri di depan perjalanan menuju kebenaran.
Tekad untuk membuat masyarakat menjadi tempat yang baik untuk semua anggotanya, terutama orang-orang muda di sekolah, mereka yang sakit, mereka yang miskin tanpa pekerjaan, mereka yang jompo tanpa harapan dan mereka yang menjadi korban diskriminasi.

Inti dari Kode Etik Pribadi adalah bahwa hanya masing-masing wartawan lah yang tahu apakah dia telah berusaha dengan keras dan memberikan yang terbaik atau tidak. Kode Etik, baik yang bersifat organisasi maupun pribadi, adalah acuan moral. Seorang wartawan tidak bisa dihukum jika melanggarnya, namun dia bisa dikenai sanksi moral dari lingkungannya.



Apa itu pasal pencemaran nama baik (libel)? Berbeda dengan Kode Etik, libel dan pelanggaran privacy kemungkinkan seorang wartawan atau korannya dituntut ke pengadilan. Hukum pencemaran nama baik ditujukan untuk melindungi reputasi dan nama baik seseorang. Libel adalah tindakan menerbitkan bahan-bahan palsu atau kasar yang menyebabkan:

Kerugian finansial
Merusak nama baik atau reputasi
Merendahkan, mengakibatkan penderitaan mental Seseorang yang bisa membuktikan bahwa dirinya dirugikan oleh sebuah berita atau foto bisa mengajukan tuntutan pasal pencemaran nama baik ini.
Tapi, jika wartawan menulis berita yang berdasar pada fakta, digali secara seksama, fair dan tak memihak, si wartawan tak perlu takut dengan tuntutan semacam itu. Kata kuncinya adalah akurasi (Lihat Bawah). Ada tiga landasan yang bisa melindungi wartawan dari tuntutan pencemaran nama baik:
Kebenaran: Jika seorang reporter bisa menunjukkan dan membuktikan bahwa bahan-bahan yang dikumpulkan adalah benar, orang yang menjadi sasaran bisa menuntut namun umumnya tidak berhasil.
Privilege: Segala sesuatu yang diungkapkan secara publik dan resmi, baik di lingkungan legislatif atau judikatif, tak peduli apakah benar atau tidak, bisa ditulis dan dipublikasikan.
Kritik yang Fair: Kritikus bisa menilai memberi komentar kepada suatu karya seniman, penulis, dramawan, atlet atau siapa pun yang menawarkan jasa pada publik. Namun, kritik harus didasarkan pada fakta dan tak boleh menyerang kehidupan pribadi individu yang karyanya dikritik.
Dari semua ''pelindung'' tadi, wartawan sama sekali tak perlu takut jika laporannya merupakan sajian dari sebuah peristiwa secara lengkap, fair, tidak memihak dan akurat. Kebenaran bisa menjadi pelindung, namun niat baik tidak. Seorang wartawan mungkin tidak bermaksud mencemarkan nama orang, namun jika tulisan itu tidak bisa dibuktikan demikian, niat baik saja tidak bisa melindungi si wartawan.



Apa itu pelanggaran terhadap kehidupan pribadi (privacy)? Privacy adalah hak individu untuk dibiarkan sendirian. Reporter tak boleh secara paksa memasuki rumah seseorang atau menggunakan alat perekam yang bisa melanggarkan hak pribadinya. Untuk menggali berita, wartawan memang bisa mengumpulkan bahan tentang kehidupan pribadi orang-orang terntu yang bisa membuat perasaan tak enak pada yang bersangkutan.
Namun, ketika pers menggali tindakan pribadi yang bukan merupakan bagian dari kepentingan publik atau tak mewakili kepentingan publik secara sahih, wartawan atau korannya bisa kesulitan jika tulisannya tidak akurat. Privacy memberi orang hak orang untuk dibiarkan sendiri, kecuali jika orang yang bersangkutan terlibat dalam peristiwa berita. Privacy juga melindungi orang dari tindakan menganggu. Wartawan tak boleh memasuki rumah sumber secara paksa. Mereka juga tak boleh menggunakan mikropon atau kamera tersembunyi.


Sumber : http://waroengkemanx.blogspot.com/2010/06/kode-etik-wartawan-sebagai-profesi.html

Penilaian baik dan buruk

Setiap perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang tidak baik atau biasa dikenal dengan buruk. Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Penilaian terhadap suatu perbuatan yang baik dan buruk disebabkan adanya perbedaan tolak ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Berikut akan dibahas beberapa pandangan penilaian baik dan buruk manusia menurut ajarannya.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran agama merupakan suatu cara pandang akan baik dan buruk yang dilakukan seseorang yang bersumber atas ajaran kepercayaan agama yang dianut masing-masing. Agama yang telah dianut oleh seseorang akan mengajarkan dan memberikan suatu pandangan bahwa setiap hal yang baik merupakan hal yang dikehendaki Tuhan dan segala hal yang buruk merupakan hal yang dilarang.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran adat kebiasaan ialah suatu kebiasaan seseorang dalam melakukan sesuatu hal yang baik dan buruk. Kebiasaan ini merupakan suatu paham yang telah dianut sebelumnya oleh nenek moyang mereka yang biasanya dianggap sebagai patokan mereka untuk menentukan sesuatu hal baik atau buruk.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran kebahagiaan merupakan suatu cara pandang baik dan buruk menurut pribadi masing-masing individu. Suatu hal dapat dikategorikan baik jika seseorang tersebut merasa bahagia dan suatu hal dikatakan buruk jika seseorang tersebut merasa menderita.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran bisikan hati (intuisi) ialah suatu hal dapat dikategorikan menjadi baik atau buruk berdasarkan atas hati nurani dari seseorang tersebut. Pada setiap hati nurani manusia biasanya akan mendorong manusia tersebut untuk melakukan hal yang baik dan buruk mengikuti bisikan hati (intuisi).

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran evolusi merupakan suatu penentuan akan hal yang dilakukan tersebut baik atau buruk berdasarkan perubahan zaman yang ada. Semakin zaman menjadi maju, semakin pula bertambah penentuan akan baik dan buruk suatu tindakan.
Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran utilitarisme merupakan suatu paham akan penentuan baik dan buruk yang dilakukan manusia  berdasarkan apa yang akan diperoleh nantinya dimasa depan. Suatu hal yang baik akan menghasilkan kehidupan yang lebih baik dan begitu pula sebaliknya jika kita melakukan hal yang buruk mendapatkan kehidupan yang terpuruk.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran eudaemonisme ialah suatu paham akan baik dan buruk suatu hal yang berdasarkan atas kehendak tuhan sehingga apabila melakukan baik akan memperoleh kebahagiaan dan jika melakuan hal yang buruk akan memperoleh keterpurukan dalam hidup.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran pragmatisme merupakan suatu pandangan baik dan buruk suatu hal berdasarkan ajaran yang telah diterapkan oleh kaum pragmatisme bahwa kebaikan itu bersifat abstrak dan keburukan itu tidak berguna untuk dilakukan.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran marxisme merupakan suatu cara pandang manusia yang menentukan baik dan buruknya suatu hal berdasarkan tujuan apa yang ingin diambil nantinya.

Ø  Penilaian baik dan buruk menurut pandangan ajaran komunisme ialah suatu cara pandang manusia untuk menentukan baik dan buruknya suatu hal berdasarkan keadilan yang harus merata dan tidak mementingkan kaum atas.


sumber : http://gressellahutasoit.blogspot.com/2012/03/penilaian-baik-dan-buruk.html















Review Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Prita Mulyasari menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 thn dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah. Sebelumnya, seorang wartawan bernama Iwan Piliang diduga mencemarkan nama baik seorang anggota DPR melalui tulisannya di internet dan dijerat dengan pasal yang sama.

Atas kasus yang menimpa sdri. Prita Mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap RS. Omni International, berikut ini pendapat hukum dari saya:

Pertama :
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.

Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311. Dengan demikian, jika nanti perbuatan Prita Mulyasari terbukti tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE . Berikut petikan pasal-pasal yang dimaksud:

Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 310 KUHP
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.


Pasal 311 KUHP
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.

Kedua :
Dalam e-mail Prita yang ditujukan kepada teman-temannya, Prita menuliskan kalimat awal berbunyi sebagai berikut:

“Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan”

Dan kalimat terakhir berbunyi”

“saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.”

Dari kedua kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa sdri. Prita menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati atas pelayanan rumah sakit dan jangan terpancing dengan kemewahannya. Sdri. Prita sengaja menulis pesan tersebut dengan maksud untuk memberi pelajaran penting kepada orang lain demi kepentingan umum untuk lebih berhati-hati/waspada terhadap pelayanan rumah sakit agar tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, sdri. Prita tidak dapat dikatakan melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, karena pesan yang disampaikan untuk kepentingan umum. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.

Ketiga :
Dalam e-mail Prita juga diceritakan banyak hal seputar pengalaman dia sebagai pasien di rumah sakit Omni International. Pada intinya, sdri. Prita kecewa tidak transparansinya informasi yang dia minta kepada pihak manajemen rumah sakit tentang hasil laboratorium. Berikut petikannya :

“Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.”

Petikan di atas menunjukkan bahwa pihak manajemen Omni memiliki catatan hasil lab 27.000 tapi tidak diberikan kepada Prita.

Cerita yang lain menunjukkan bahwa sdri. Prita merasakan bahwa rumah sakit Onmi International melakukan penanganan yang keliru terhadap dirinya. Hal ini dikuatkan oleh revisi hasil lab dari 27.000 menjadi 181.000. Prita berpendapat bahwa karena hasil laboratorium thrombosit 27.000 maka dia diminta menjalani rawat inap, sedangkan hasil laboratorium sebenarnya adalah 181.000 berarti dia tidak perlu rawat inap, cukup rawat jalan. Berikut petikannya:

“Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.”

Cerita yang lain menunjukkan bahwa sdri. Prita mengalami gangguan kesehatan yang lain akibat perawatan yang dilakukan oleh dr. Hengky, yakni tangan kiri mulai membengkak, suhu badan naik ke 39 derajat, serangan sesak napas, leher kiri dan mata kiri membengkak. Berikut petikannya:

“Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja”

“Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.”

Cerita yang lain menunjukkan bahwa setelah sdri. Prita ditangani oleh rumah sakit yang lain menunjukkan penyakitnya bukan demam berdarah, dan suntikan yang diberikan sewaktu di rumah sakit Omni International tidak cocok dengan kondisi sdri Prita sehingga menimbulkan sesak nafas. Berikut petikannya:

“Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.”

Keempat :
Dari cerita di atas, sdri. Prita Mulyasari sebenarnya dapat melakukan tuntutan berupa ganti rugi atas penanganan yang keliru dari rumah sakit Omni International, atau melakukan tuntutan pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Berikut petikannya:

Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Kelima :
Perbuatan sdri. Prita Mulyasari menulis pesan lewat e-mail kepada teman-temannya tidak menunjukkan adanya motif atau niat untuk melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap rumah sakit Omni International. Dengan demikian, perbuatan sdri. Prita tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya unsur “sengaja” dalam mendistribusikan infomasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sementara perbuatan sdri. Prita tidak bermaksud menghina justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan pelayanan rumah sakit.
Keenam :
Pihak Kepolisian seharusnya mampu mengembangkan kasus tersebut dengan kemungkinan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh rumah sakit Omni International berupa pelayanan rumah sakit yang merugikan konsumen dengan pasien sdri. Prita Mulyasari, dan tidak langsung berfokus pada soal pencemaran nama baik.


sumber : http://baguswicell.blogspot.com/2014/05/cyber-crime.html
 

Diah Kusumawardani Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger